“HAI, J!” Lelaki gemulai itu menyapa Jama dengan sumingrah, ia langsung mendekatkan pipinya dan menempelkannya pada pipi Jama.
“Halo, Lui.” Nama asli lelaki itu Kim Jong Hoon, tapi ia lebih suka dipanggil Lui. Lebih cocok dengan profesinya sebagai desainer, katanya.
“Kemana aja sih? And look at you, so skinny, J.” Lui menyuruh Jama berputar untuknya.
Jama pun menurut dan berputar sambil tertawa, “Habis pulang ke Indonesia, Lui. Masa sih aku kurusan? Perasaan aku tambah gemuk deh.”
“No, darling. But you are perfect anyway. Kenapa mereka gak ngontrak kamu jadi model sih daripada Zee?” Lui mengibaskan tangannya tak suka.
Jama tertawa dan memeluk bahu Lui, “Oh Lui, mereka kan gak mampu bayar aku jadi model.”
Hari ini penampilan Jama memang lebih cocok dipanggil model ketimbang asisten make up artist di sebuah stasiun televisi ternama di Korea. Dress lurus berwarna beidge dan sepatu boot warna senada melengkapi penampilannya.
“Ini udah aku siapin semua ya, J. Aku taruh di sini dulu ya. Tapi kamu jangan pulang dulu ya, aku mau tunjukin koleksi kami yang terbaru dan mungkin ada beberapa yang cocok di kamu.” Lui mengerling dan Jama mau tidak mau mengikuti Lui menuju bagian studio dalam butiknya.
“J, kamu tadi udah ke butiknya Lui kan ya?” So Hee bertanya sambil mengerutkan kening.
Jama menyeruput kopinya, lalu menoleh ke arah So Hee. “Iya, tadi aku ke sana kok. Itu yang kamu pegang kan baju dari Lui.”
“Bukan gitu, J. Kaya’nya bajunya ketuker deh.” Sahut So Hee hati-hati.
Jama langsung bangkit dan memperhatikan kotak terbuka yang ternyata berisi sebuah kemeja laki-laki bergaris-garis tipis serta sebuah dasi berwarna terang, ia membolak balik kotak tersebut mencari tahu siapa pemiliknya. Junsu.
“J, I’m really..really sorry. Aku sudah cek benar kok pas masukin ke tasnya.” Suara Liu terdengar panik.
Jama menarik nafas dan berusaha tenang, “Oke, Liu. Tapi ini tertukar dengan milik Junsu, dan syuting akan berlangsung satu jam lagi.”
“Ehm..ehm..Jama sayang, aku minta maaf pegawaiku di sini sedang sibuk dan tidak bisa menukar kembali pakaian itu, bisakah kamu yang menelpon Junsu untuk menukarnya?”
Jama memutar bola matanya, haruskah ia kembali menemui lelaki itu, tapi tidak mungkin ia tidak mengambil baju itu. Jama menarik nafas panjang sekali lagi, “Kirimkan nomor Junsu ke hp-ku segera, Liu.”
“Kalian sudah tidak pernah berhubungan lagi?” tanya Liu heran.
“Bukan saatnya membahas itu sekarang, Liu.” Jawab Jama tegas.
Sudah lama sekali Jama tidak bertemu lelaki itu, ia sengaja menghindar ketika Junsu sedang ada syuting di tempatnya, atau ketika Jama harus ikut serta dalam persiapan acara musik dimana Junsu menjadi pengisi acaranya. Pokoknya sebisa mungkin ia tidak bertemu lelaki itu dan kali ini hanya karena terjadinya tragedi tertukarnya baju ini ia terpaksa harus bertemu dengannya. “J, apa kabar?” seorang perempuan yang juga asisten make up artist menyapanya ketika ia memasuki gedung manajemen artis tempat Junsu bernaung. Jama hanya memamerkan senyum seperlunya dan menyapanya sopan sembari mempercepat langkah. Semakin cepat ini selesai, semakin cepat ia akan pergi dari tempat ini.
Jama masih ingat benar seluk beluk ruangan dalam gedung ini, dan beberapa pegawai yang mengenalnya ikut menyapa dan menampakkan wajah terkejut atau bahkan bertanya-tanya kenapa Jama bisa berada di sini. Jama merapikan bajunya sebelum mengetuk pintu, menarik nafas sesaat, dan akhirnya membuka pintunya.
“Jama?” Jaejoong yang pertama kali menyapanya, sebelum akhirnya Yuchun dan Junsu yang juga berada di ruangan itu ikut menoleh ke arah pintu.
“Hai, oppa. Aku ada urusan dengan Junsu sebentar.” Kata Jama cepat.
Junsu menarik kedua alisnya, namun kemudian bangkit dari duduknya. “Sudah datang.”
Suara serak namun lembut itu nyaris membuat Jama terlena, namun ia menguatkan diri dan berusaha menenangkan diri. “Baju kita tertukar dan aku membutuhkannya. Segera.” Ia kembali mengulangi perkataannya di telpon tadi.
“Tunggu akan kuambilkan, aku belum sempat mengeceknya semenjak aku datang tadi.” Junsu melewati Jama untuk mengambil bajunya di ruangan lain dan saat melewatinya nafas Jama sempat tercekat. Dia masih memakai parfum yang sama dengan yang Jama pilihkan dulu ketika mereka masih bersama.
Bersama? Mungkin jika waktu itu Junsu bisa memberikan alasan logis kenapa ia tiba-tiba menghilang tanpa pesan, mungkin mereka masih bersama. Jama dan Junsu.
“Maaf aku mengganggu waktu kalian, oppa.” Ujar Jama sopan.
Jaejoong tersenyum, “Tidak apa-apa. Senang melihat kamu di sini, Jama.”
“Aku juga, oppa.”
Junsu tiba-tiba datang dan menyodorkan tas kertas yang sama persis dengan yang dipegang oleh Jama. “Ini. Kamu ke sini naik apa?”
“Eh? Tadi di-drop mobil kantor.”
“Aku antar J dulu, nanti aku kembali lagi.” Tanpa menunggu persetujuan rekan-rekannya Junsu langsung mengambil kunci mobil dan keluar dari ruangan.
Jama tampak bingung, namun Yuchun segera mengalihkan perhatian. “Ya hati-hati. Sampai ketemu lagi, J.”
Sepanjang perjalanan menuju stasiun televisi di dalam mobil Junsu dan Jama sama sekali tidak mengeluarkan suara. Bahkan suara tarikan nafas mereka pun nyaris tak terdengar.
“Kamu baik, J?”
Jama yang sedang mengamati jalanan menoleh ke arah Junsu, sesungguhnya dia rindu dengan lelaki di sampingnya ini, tapi jika ia mengingat lagi pertengkaran besar mereka kala itu, maka hatinya akan kembali sakit.
“Baik.” Jawabnya singkat. Apa harus ia katakan bahwa semenjak Junsu tak mengangkat telepon maupun membalas SMS-nya ia sering menyendiri dan jadi jarang tersenyum. Apa Junsu tahu kalau ia dijadikan bulan-bulanan semenjak hubungan mereka kandas? Dan bahkan sampai sekarang Junsu tetap tidak memberikan penjelasan mengenai hubungan mereka, Jama sendiri sudah malas bertanya-tanya.
Selebihnya hening kembali. Mereka berdua layaknya orang asing yang pertama kali bertemu dan tidak tahu harus berkata apa.
Ketika mobil akhirnya berhenti di halaman kantor Jama pun Junsu tidak berkata apa-apa. “Terima kasih.” Jama membuka pintu mobil sambil memegang erat tas kertas berisi baju Zee, sambil menahan air mata yang nyaris tumpah jika ia tidak segera keluar dari mobil ini.
“Jama..” suara Junsu tertahan, ia pun ragu harus berkata apa.
Jama menoleh untuk memberinya kesempatan. Sekali lagi, Junsu. Tapi tidak, Junsu tidak mengeluarkan sepatah kata pun lagi selain memanggil namanya. Kali ini air mata mengalir deras diiringi hujan yang tiba-tiba turun.
“Oppa.” Zee mencium pipi kanan Junsu dan bergelayut mesra di lengannya. “Ada apa ke sini? Pasti rindu denganku ya?”
“Oh hai, Zee. Maaf ya, tapi aku sedang terburu-buru.” Junsu berusaha melepaskan tangan Zee dari lengannya.
Zee merubah ekspresinya, “Oppa masih ingin bertemu Jama? Masih ingin membuatnya lebih menderita?”
Junsu terdiam. Ia mengingat kembali apa yang terjadi 6 bulan yang lalu. Junsu tidak pernah menyangka Jama akan semenderita itu jika berhubungan dengannya, beberapa fans fanatik-nya sempat melempar telur busuk di depan apartemen Jama, bahkan mengancam dengan surat kaleng. Namun setiap kali Jama bertemu dengan Junsu, ia tidak pernah menceritakan hal itu. Jama selalu tersenyum dan ceria. Melihat kenyataan itu membuat hati Junsu kembali perih dan ia membiarkan Jama yang membencinya. Ia melepaskan Jama agar dia lebih bahagia. Itu saja.
“Aku titip ini, payungnya tadi tertinggal di mobilku. Tolong serahkan padanya.” Junsu menyerahkan sebuah payung lipat biru muda, lalu pergi dari tempat itu tanpa menoleh lagi.
Jama memandangi payung biru muda di hadapannya. Payung itu jelas bukan miliknya, hari ini dia tidak membawa payung dan tidak ada barang yang tertinggal di mobil Junsu tadi. Namun ketika Zee menyerahkannya tadi ia tetap menerima payung itu dan berpikir keras mengapa Junsu memberikan payung itu padanya. Apa itu berarti dia masih perhatian? Namun kenapa ia tidak memberikan penjelasan apapun mengenai hubungan mereka tadi? Jama berpikir terlalu keras sampai akhirnya kepalanya sakit. Untung saja hari ini ia tidak perlu ekstra membersikan apartemennya, memang semenjak ia tidak lagi bersama Junsu, fans-fans fanatik itu tidak lagi melempari tempat tinggalnya dan ia tidak perlu meminta maaf berkali-kali pada pemilik apartemen karena mengganggu tetangganya yang lain. Sebuah SMS masuk ke HP Jama, dari Soo Hee yang mengajaknya untuk berkumpul di kedai minuman. Jama hanya membalas singkat dengan mengatakan ia sedang tidak enak badan. Lalu ia kembali bergelung dalam selimutnya karena tubuhnya terasa panas dan kepalanya menjadi lebih sakit.
Jaejoong menghampiri Junsu yang sejak tadi menerawang memandangi kota Seoul yang siang itu tertutup awan mendung. “Ini.” Katanya sambil menyodorkan segelas kopi panas.
“Masih memikirkan Jama?”
“Apa hyung pikir dia baik-baik saja?”
“Kenapa tidak kau tanyakan sendiri padanya?”
Junsu menyesap kopinya, “Dia bilang dia baik-baik saja.”
“Kalau begitu, apa dirimu baik-baik saja?”
Junsu tidak menjawab pertanyaan hyungnya. Ia tahu dirinya tidak baik-baik saja, tapi ia hanya melakukan sesuatu yang benar menurutnya, dan yang pasti itu tidak akan menyakiti Jama. Ia akan bertahan dengan rasa sakit ini, asalkan bukan Jama yang menderita karenanya.
“Apa yang kulakukan ini benar, hyung?”
Jaejoong tersenyum dan menunjuk dada Junsu, “Tanyakan lagi pada yang didalam sini.”
Sudah 2 hari, Jama tidak masuk kerja. Sehari-hari ia hanya bergelung di kasur, makan dan minum obat. Badannya sakit semua dan rasanya untuk bergerak saja ia tidak sanggup. Soo Hee berkali-kali menelponnya hanya untuk mengecek keadaan Jama, kemarin ia juga sempat memasakkan bubur untuk Jama supaya Jama tidak perlu repot soal makanan, dan ia berjanji sepulang kerja nanti akan mampir ke apartemen Jama lagi. Jama merasa berhutang budi dan mencatat dalam hati akan menraktir Soo Hee bila ia sudah sembuh nanti.
Tingtong.
Ah itu pasti Soo Hee, pikir Jama sambil melirik jam dindingnya. Jama membuka pintu tanpa melihat ke intercom. “Hai, Jama.” Junsu berdiri di hadapannya sambil membawa dua buah tas plastik, wajahnya tampak segar dan tentu saja tampan dengan kaos berkerah dan celana pendek warna khaki. Junsu tampak seperti akan piknik ketimbang menjenguk orang sakit. Tanpa dipersilakan Junsu langsung masuk dan menuju ke arah dapur.
“Kamu ini selalu tidak pernah cuci piring ya? Piring-piring ini mana bisa nyuci sendiri.”
“Ya kalau aku sedang tidak sakit pasti aku cuci semua.”
Junsu mendekat dan menggiring Jama kembali ke kamarnya, “Karena itulah, yang sakit istirahat di kamar. Biar chef Junsu yang membereskan urusan dapurnya.”
Jama sampai takjub dengan makanan yang memenuhi meja makannya. Dari mulai kimbab sampai jigae semua lengkang tersaji di sana. “Ini siapa yang mau makan sebanyak ini?”
Junsu masih menggunakan celemek yang entah itu milik siapa karena Jama sendiri tidak ingat ia punya persediaan celemek, duduk di hadapan Jama dan mengisi mangkuk Jama dengan nasi. “Orang sakit harus makan yang banyak.”
“Orang sakit bisa tambah sakit kalau dipaksa menghabiskannya, Junsu.” Namun Jama tidak menolak nasi yang disodorkan Junsu.
Ia mulai mengambil lauk dan makan dengan perlahan. Sudah lama sekali rasanya sejak Junsu tertawa dan memasak untuknya. Jama berkali-kali mengerjapkan mata memastikan bahwa ini bukan mimpi belaka, juga untuk menahan air mata yang sudah hampir luruh.
“Orang sakit itu gak boleh nangis.” Junsu menyeka air mata di pipi Jama dan Jama pun mulai terisak.
“Apa maksudnya semua ini, Junsu?”
Junsu kemudian menggenggam jemari Jama kuat-kuat. “Aku minta maaf. Aku tahu kamu pasti membenciku setengah mati karena tindakan yang aku lakukan. Tapi sekarang aku hanya ingin mengatakan bahwa aku bersalah atas tindakan itu dan tidak akan kulakukan lagi. Aku tidak akan membiarkan ada orang yang menyakitimu lagi, atau orang itu tidak akan pernah tenang seumur hidupnya.”
“Sekali lagi aku minta maaf, Jama. Maukah kamu mengulang semuanya dari awal dan memperbaikinya denganku?”
Jama terdiam, memandangi lelaki di hadapannya dengan gamang. Haruskah ia menerimanya kembali? Haruskah ia melupakan yang telah berlalu dan memaafkannya kembali?
Tiga bulan kemudian.
Jama duduk dalam gedung konser yang padat dengan fans-fans yang terus meneriakkan nama Junsu padahal konser baru akan dimulai 30 menit lagi. Tangannya gemetaran dan keringat dingin bercucuran di dahinya. Ia menggenggam erat sebuah poster yang telah ia buat semalaman. Lampu dimatikan dan digantikan dengan lautan light stick dan pertunjukan pun dimulai. Jama mulai resah, apakah Junsu dapat melihatnya dari tempatnya duduk saat ini? Apakah poster yang ia bawa cukup menarik perhatiannya?
Intro lagu “Even though I Already Know” mulai terdengar dan gedung pun mendadak senyap, semua orang tampak larut dalam nyanyian dan permainan piano Junsu di tengah panggung.
Kkeunnan jul na al-go it-jiman geurae anin jul deo jal al-go isseo
Cheo-eumbu-teo nae mameun ajik keudaeroinde eotteo-khae neol ji-ul-su isseo
Tubuh Jama membeku, namun tekadnya sudah bulat, ia mengangkat posternya tinggi-tinggi dan saat itu pula Junsu menatap ke arahnya.
“Saranghaeyo, Kim Junsu!” teriak Jama sekencang-kencangnya. Ia tidak peduli beberapa fans disekelilingnya mulai terganggu dengan suara dan gerakannya.
Junsu tersenyum dan melanjutkan nyanyiannya. Sampai ia menyelesaikan lagu tersebut, ia kemudian berdiri membungkukkan badan pada penonton. “Saya ucapkan terima kasih atas dukungan kalian selama ini untuk saya, untuk lagu-lagu yang saya bawakan, untuk karir bernyanyi saya dan untuk segalanya. Tapi ada satu hal yang perlu kalian tahu, bahwa aku berada di sini selain karena dukungan kalian semua, para kru juga anggota manajemenku, ada satu orang yang mendukungku walaupun tak terlihat oleh kalian. Dia adalah wanita yang berteriak memanggil namaku tadi, Jama, calon istriku.”
* untuk kisah Junsu – Jama yang lain, baca di sini